Skip to main content

Ambon Manise

Jujur, informasi paling kental yang terekam jelas di benak saya mengenai Kota Ambon adalah sebuah kota yang pernah dilanda konflik horizontal berbau SARA. Telah menjadi sejarah bahwa di periode tahun 1999-2002 ibu kota Provinsi Maluku ini pernah dilanda masa-masa yang kelam dan memilukan. Bagaimana tidak, korban jiwa berjatuhan oleh sebab yang menurut saya bisa saja kecil namun memantik efek yang begitu besar dan menyeret Agama sebagai penyebabnya, padahal sudah sejak lama warga Ambon hidup rukun berdampingan.

***

Saat sedang tertidur pulas, tiba-tiba getaran yang diakibatkan benturan roda pesawat dengan landasan pacu membuat ku kaget dan terbangun, sepanjang perjalanan saya tertidur cukup pulas, maklum penerbangan dari Makassar menuju Ambon yang saya tumpangi kali ini lepas landas dari Bandara Hasanuddin pukul 03.00 dini hari. Tak lama kemudian suara pramugari terdengar memberi pengumuman bahwa pesawat yang saya tumpangi telah mendarat Bandara Pattimura, Kota Ambon.

Ya, ini kali pertama saya menginjakkan kaki di kepulauan Maluku. Kebetulan pada akhir Maret yang lalu  urusan pekerjaan yang mengharuskan saya on site  ke Ambon. Setiba di bandara saya sengaja mengambil moda transportasi umum, Damri. Tarif perorang menuju pusat kota sebesar Rp.35000,-. Bus yang saya tumpangi melewati jembatan terpanjang di Indonesia Timur, Jembatan Merah Putih. Saya berpikir, jembatan yang belum lama diresmikan oleh Presiden Jokowi ini diberi nama Merah Putih mungkin selain sebagai penghubung dua lokasi yang dipisahkan oleh teluk, juga sebagai pemersatu bangsa, khususnya warga Ambon yang pernah dilanda perpecahan. Ya, kita Bangsa Indonesia berada di bawah bendera yang sama, Merah Putih.

Waktu itu kebetulan saya ditemani oleh sahabat saya yang kebetulan dinas di Ambon, setelah tiba di kosannya, saya langsung minta diantar menuju salah satu hotel yang letaknya tak jauh dari lokasi pekerjaan saya.

Begitu pertama kali melihat kedaan Kota Ambon secara langsung, bayangan saya mengenai kota yang pernah dilanda konflik pun sirna. Tak nampak sama sekali bahwa kota ini pernah dilanda konflik. Kota kecil yang cukup padat dan ramai ini terlihat begitu ramah dan bersahabat. Senyum manis khas Ambon bertebaran di sana-sini. Tua, muda, laki-laki dan perempuan semuanya ramah dan murah senyum.

“Nyong, mau naik becak kah ? “ kata salah seorang penarik becak menawarkan jasa tumpangan kepada saya.

Nyong, begitulah sapaan untuk para lelaki muda di kota ini. Di sini moda transportasi umum yang tersedia cukup beragam. Selain bus damri bandara tadi, terdapat pula angkutan kota, taksi hingga becak. Semuanya masih offline tentunya.

Setelah menyelesaikan pekerjaan, menjelang malam, saya kembali ke hotel. Kemudian mencari melalui aplikasi peta online, saya pun mengetahui lokasi di mana saya berada. Jangan khawatir, di kota ini layanan selularnya sudah berbasis 4G LTE dan layanan fixed broadband-nya bisa mencapai 100Mbps tentunya dipersembahkan oleh operator telekomunikasi BUMN kebanggaan bangsa.

Lokasi hotel tempat saya menginap kebetulan sangat stategis, berada di pusat kota da tak jauh dari Lapangan Merdeka, mungkin kalau di Pulau Jawa sana, lapangan ini dapat dikatakan sebagai alun-alun kota Ambon. Setelah merapikan peralatan, menyimpan tas dan laptop di hotel, saya pun memutuskan untuk berkeliling ke sekitar hotel. Lokasi yang ingin saya tuju adalah Lapangan Merdeka. Pada saat saya datang, di Lapangan Merdeka sepertinya sedang diadakan turnamen bola basket. Serunya pertandingan waktu itu membuat saya beberapa menit meluangkan waktu untuk menonton. Selain terdapat sarana olahraga di lokasi ini juga terdapat patung Pahlawan Nasional Pattimura yang berdiri tegak, tinggi menjulang.

Keesokan harinya, kebetulan waktu itu adalah hari jumat, saya  dijemput oleh sahabat saya untuk melaksanakan Ibadah Sholat Jumat di Masjid Raya Ambon. Pada saat itu waktu telah menunjukkan pukul 13.00 dan kami baru berangkat dari hotel tempat saya menginap. Pikirku kami telah terlambat, karena di Makassar biasanya ragkaian Sholat Jumat berakhir pada pukul 13.00. Awalnya saya sedikit ragu, jangan-jangan jam tangan saya belum terkalibrasi. Setelah melakukan sinkronisasi dengan satelit, dan ternyata benar, jam tangan saya sudah sesuai waktu Indonesia bagian timur. Mungkin karena letak geografisnya yang sedikit ke barat, sholat jumat baru dilaksanakan pukul satu siang.

Setelah melaksanakan sholat Jumat, kami pun berkeliling ke lokasi-lokasi yang menjadi ikon Kota Ambon serta mencicipi beberapa makanan khas Ambon. Waktu itu kami berkesempatan berkunjung ke daerah Tulehu, salah satu kampung yang terkenal di Kota Ambon. Kampung tersebut telah melahirkan pesepak bola handal tanah air, sebut saja Abdurrahman Lestaluhu, Alvin Tuassalamony dan banyak lainnya. Tak salah PSSI menobatkan kampung ini sebagai Kampung Sepak Bola.

Selepas dari Tulehu, kami menuju ke Pantai Natsepa, di sini merupakan pantai yang oleh warga Ambon menjadi salah satu alternatif untuk rekreasi. Selain itu di Natsepa juga terdapat rujak yang sangat terkenal. Orang menyebutnya Rujak Natsepa. Setelah mencicipi, ternyata betul, rasanya sedikit berbeda dengan rujak-rujak yang umumnya pernah saya nikmati. Demi menghilangkan rasa penasaran, saya menanyakan hal ini kepada Ibu pemilik kedai, ternyata yang menjadi pembeda adalah bumbu rujak natsepa ditambahkan parutan buah pala. Rasanya yang segar sangat cocok untuk mengusir sangat nikmat  sambil ditiup angin sepoi-sepoi Pantai Natsepa.

Sayangnya waktu dua hari tak cukup. Sebenarnya saya masih ingin tinggal beberapa hari lagi di Kota Ambon, masih banyak yang belum terjelajahi. Masih banyak pantai-pantai indah yang belum sempat dikunjungi dan menurutku harus dikelola dengan baik hingga bisa mendatangkan wisatawan dan menggerakkan roda perkonomian warga Ambon sekaligus mengabarkan pada khalayak, Ambon memang manise.

Leave a Reply

Your email address will not be published.