Skip to main content

Menyapa Sabana Gunung Butak

Bermula dari percakapan sederhana antara aku dan salah seorang sahabat karib di sekitaran bulan Oktober. Adi namanya, namun sering juga dipanggil Gondrong karena pernah berpenampilan awut-awutan dan berambut gondrong, namun hatinya tetap rapi dan bersahaja. Amin.

“Jadi kapan kita nge-camp bareng lagi ini e ?, Fadli juga kayaknya mau itu, karna gak lama lagi mungkin bakalan susah pergi-pergi. Tentukan aja, kalo bisa bulan sebelum pergantian tahun”, ujarnya dengan logat Makassar yang masih terasa walaupun samar-samar.

“Ayoklah, bulan Desember Insya Allah bisa, sebelum Natal lah. Karena biasanya menjelang Natal banyak yang harus diselesaikan, sama ada posko juga biasanya itu”, spontan aku menjawab.

Akhirnya rencana itu pun tercetus, dan kami mulai merencanakan waktu, lamanya perjalanan yang akan kami tempuh serta lokasi yang akan kami tuju. Kami membicarakan hal-hal tersebut dalam sebuah grup chat Instant Messenger. Anggota grupnya awalnya hanya ada tiga, Aku, Adi dan Fadli. Hingga pada pertengahan bulan November tujuan kami belum berubah. Gunung Argopuro. Sedikit muluk menurutku. Karena berdasarkan data-data maupun catatan perjalanan para pendaki yang pernah ke sana, paling tidak, dibutuhkan sekitar tiga hingga empat hari untuk mendaki ke puncak dengan aman, nyaman dan menyenangkan.

Waktu yang terus berlalu membuat persiapan kami menjadi mepet dan semakin minim. Hasil obrolan kami perjalanan akan dilakukan pada minggu kedua bulan Desember, tanggal 10 sampai dengan tanggal 11 tepatnya. Ya, ujung-ujungnya jadi PerSaMi, Perkemahan Sabtu Minggu. Namun bagi kami tak masalah, yang penting bisa berkumpul dan membuat perjalanan bersama. Dengan waktu yang hanya dua hari saja, tentunya mendaki Gunung Argopuro menjadi tak relevan lagi, karena kami hendak berkemah, bukan Trail Running, seperti yang pernah aku lakukan, mendaki sambil berlari tiga puncak gunung sekaligus dalam waktu 20 jam.

Gunung Butak akhirnya menjadi pilihan yang cukup realistis. Dengan tinggi sekitara 2862mdpl, menurut kami lokasi lokasi ini cukup pas rasanya jika dijadikan tempat camping ceria. Kira-kira seminggu sebelum keberangkatan, ternyata ada beberapa sahabat karib lain yang tertarik dan ingin ikut. Awalnya Ade dan Erando saja. Kemudian Hadi Hercules pun berminat. Ade  yang mendapat julukan Haji Lulung, saat ini sedang menyelesaikan studinya di Negeri Kangguru, kebetulan sedang libur musim panas, katanya cukup lama, hampir tiga bulan. Agak sedikit kurang familiar memang di Australia sana, musim panas terjadi di akhir tahun. Bagitulah adanya, aku tak ingin membahasnya di tulisan kali ini.

Dua hari sebelum keberangkatan ternyata rombongan kami berkurang dua anggotanya. Erando yang sebelumnya ingin ikut, ternyata harus menunggui saudaranya yang akan melakukan operasi. Agak berat dia meninggalkan saudaranya itu, karena setahuku dia adalah kakak tertua. Namun yang membuat kami agak kesal adalah si Hadi. Masih belum berubah saja kelakuannya. Seperti tak niat ingin berangkat, dia baru mencari tiket H-2. Mana bisa. Minggu kedua Desember ini adalah akhir pekan yang panjang. Tentunya yang ingin bepergian liburan bukan hanya rombongan kami. Ratusan, mungkin ribuan rombongan lainnya tentunya ingin memanfaatkan waktu akhir pekan yang panjang ini dengan bepergian dan tentunya tiket kereta api menjadi komoditas ekonomi yang paling laku di antara moda transportasi jarak jauh di Pulau Jawa. Akhirnya rombongan kami jadi tinggal berempat saja. Aku, Adi, Fadli dan Ade.

Setelah memperlajari peta dan data-data oprasional, kami bersepakat untuk mendaki lewat jalur Gunung Panderman yang terletak di Batu, Malang. Sengaja kami memilih jalur itu, selain akses yang mudah, kesempatan di Kota Malang juga dapat kami manfaatkan untuk jalan-jalan di kota apel.

Peta Gunung Butak

Segala perlengkapan dan logistik telah kami rinci satu per satu. Untuk perlengkapan kemah, seperti tenda dome, matras, dan sleeping bag, kami sewa di salah satu outlet penyewaan alat outdoor yang terletak di dekat stasiun Kota Malang, aku lupa nama tempatnya. Sedangkan untuk alat masak, aku kebagian membawanya dari Makassar.

Adi adalah anggota rombongan kami yang paling awal sampai di Malang. Beruntunglah ia, kebagian menyewa perlengkapan kemah dan mempersiapkan logistik. Sedangkan aku adalah orang yang paling akhir dari rombongan kami yang tiba, setelah sebelumnya di dahului Fadli dan Ade. Aku tiba di kota Malang sekitar pukul 00.30 WIB menggunakan travel dari Bandara Juanda, Surabaya.

Sabtu pagi setelah setelah melakukan packing dan sarapan, kami menuju titik pendakian menggunakan mobil yang disewa melalui aplikasi online. Alhamdulillah kami mendapatkan dirver yang cukup bersahabat dan ramah. Pak Joseph Parulian Panjaitan namanya. Aku ingat betul bapak itu berdarah Batak namun tak nampak sama sekali be-Batak-annya malah medhok jawanya yang kental. Sekitar pukul 8.00 kami meninggalkan penginapan, mampir sebentar ke sebuah supermarket untuk membeli kekurangan logistik kemudian langsung menuju ke titik pendakian yang terletak di Dusun Toyometro, Desa Pesanggrahan, Batu Malang.

“ Eh, stop.. stop. Pak bisa puter balik gak, ke penginapan, ada yang ketinggalan”, tiba-tiba Ade berbicara dengan nada sedikit panik.

“Apa De?” Fadli yang duduk si samping Pak Joseph bertanya.

“Kamera coy….” Jawab Ade singkat

Dan hampir saja perjalanan kami terlewatkan tanpa dokumentasi kamera yang benar-benar kamera. Setelah putar balik dan melalui perjalanan sekitar 1 setengah jam ditambah sedikit nyasar, tiba lah kami di dusun Toyometro. Di titik pendakian itu, seperti yang sudah umum di semua pos pendakian, setiap pendaki harus mendaftarkan diri serta memberikan retribusi sebesar Rp.8000,- per orangnya.

Pendakian pun dimulai. Sesuai beberapa artikel yang kami baca, lamanya pendakian untuk mencapai sabana yang terletak di daerah lembahan Gunung Butak, dibutuhkan waktu empat hingga enam jam dengan berjalan normal. Normal itu relatif, ini yang perlu digarisbawahi. Pendakian ke area sabana boleh dibilang pelit bonus track, alias penuh dengan punggungan dengan jalan yang mendaki. Betul-betul mendaki. Bagi Ade yang saat itu kondisi fisiknya sedang tidak fit 100%, hal itu tentunya menjadi tantangan tersendiri. Hampir dua jam kami telah mendaki sejak pukul 10.30 sepanjang perjalanan nyaris tak berbonus, full nanjak . Bahkan sampai-sampai sering lutut ini harus merapat ke dada saking tingginya pendakian yang harus dilalui.

Setelah berjalan cukup lama, kami menjumpai serombongan yang hendak turun.

“Ke arah sabana, berapa lama lagi, Mas?” tanya salah satu dari kami, aku lupa siapa.

“Wooh, masih tiga jam lagi, Mas. Semangat!!!” jawabnya sambil memberi semangat

“Wasyeeemmm, ini udah jalan hampir 4 jam, dibilangnya masih tiga jam lagi?” aku bergumam dalam hati.

Kami pun meneruskan perjalanan sembari mengambil nafas dan istirahat ketika telah cukup lelah berjalan. Kadang saat tengah beristirahat ada beberapa kera yang malu-malu mengintip. Ada pula yang tak punya malu, mendekat seolah ingin meminta makanan ringan yang sedang kami nikmati. Hutan di area Gunung Panderman dan Gunung Butak sepertinya masih cukup terawat, oleh karena itu masih cukup banyak kera yang tinggal di sini.

Kira kira pukul empat sore, silih berganti kami berjumpa dengan beberapa rombongan. Yang menarik adalah setiap kami bertanya tentang berapa lama lagi waktu yang dibutuhkan ke area sabana, semua jawab yang mereka berikan seolah sama dan seragam

“Masih tiga jam lagi Mas, Semangat” begitu kira-kira jawaban yang sering kami terima.

Alamak. Seolah kami sedari tadi hanya jalan di tempat saja, bayangkan, kami merasa berjalan dengan waktu dan jarak yang telah lama dan jauh, namun setiap kali ketemu orang yang hendak turun, kata mereka, durasi perjalanan kami masih sekitar tiga jam lagi.

Hari mulai menjelang petang, akhirnya kami putuskan untuk membagi dua tim, karena kondisi fisik Ade sudah mulai dilanda kelelahan akut. Aku dan Fadli sebagai tim pendarat, berangkat dengan langkah lebih cepat dengan membawa perlengkapan kemah dan memasak, tujuannya agar menyiapkan camp lebih cepat sehingga ketika Adi dan Ade datang, semua camp sudah siap.

Dan akhirnya, sekitar pukul setengah delapan malam, Aku dan Fadli tiba di sabana Gunung Butak. Karena telah malam, keindahan sabana gunung butak menjadi tak nampak. Sebenarnya perjalanan malam sangat tidak dianjurkan, menurut ilmu navigasi yang aku pelajari, pada malam hari sangat rawan disorientasi arah sehingga besar kemungkinan untuk kehilangan arah, disamping itu ketika berjalan di malam hari, minimnya cahaya membuat kita tak dapat menikmati pemandangan indah yang ada disekitar. Setelah mencari lokasi camp, aku dan Fadli bergegas mendirikan tenda dan menyiapkan camp agar ketika Ade dan Adi datang nanti bisa langsung istirahat. Tenda telah siap, dan kami mulai harap-harap cemas menunggu dua teman kami yang tak kunjung tiba. Sesekali kami menengok ke arah luar tenda, berharap melihat dua teman kami itu. Dan akhirnya sekitar pukul sembilan lebih, barulah mereka tiba. Kondisi Ade saat itu seperti zombie, dengan berjalan sambil terhuyung-huyung dan tatapan matanya sayu. Kondisi fisik yang prima memang menjadi salah satu kunci untuk melakukan kegiatan di alam terbuka, sebab tanpa didukung kondisi fisik yang prima, aktivitas alam terbuka menjadi kurang dapat dinikmati.

Setelah makan malam dan sedikit ngobrol-ngobrol ditemani beberapa gelas kopi, rasa lelah dan kantuk tiba-tiba menghampiri kami. Rasanya cafein yang ada di dalam gelas kopi yang kami minum tak kuasa membendung rasa kantuk. Akhirnya kami pun beristirahat agar keesokan harinya dapat menuju puncak Gunung Butak.

Sekitar pukul lima, kami mulai terbangun, dan langsung melaksanakan sholat subuh dan menyiapkan sarapan. Ketika sinar mentari mulai muncul, seolah keindahan sabana Gunung Butak perlahan mulai tersingkap. Sepanjang mata memandang, perpaduan antara hijaunya padang rumput dan langit biru muda rasanya merupakan kombinasi yang sangat pas. Indah sekali. Belum lagi embun pagi yang perlahan memudar diterpa sinar matahari. Sambil ditemani minuman hangat kami menyaksikan pemandangan yang begitu menakjubkan. Lunas. Iya, rasanya kelelahan kami semalam tak ada artinya dibandingan pemandangan yang kami saksikan pagi itu. Subhanallah.

Setelah sarapan, sekitar pukul 6.30 kami memulai summit attack ke puncak Gunung Butak. Summit attack yang kesiangan, karena lazimnya kegiatan summit attack bertujuan untuk memburu momen sunrise atau matahari terbit. Perjalanan ke puncak, ditempuh dengan durasi sekitar satu jam dari sabana. Kali ini yang muncak hanya kami bertiga, Aku, Adi dan Fadli, sedangkan Si Ade, K.O sehingga memilih beristirahat saja di dalam tenda di area sabana.

Tibalah kami di puncak Gunung Butak. Seperti puncak-puncak gunung pada umumnya, dari puncak Gunung Butak kita dapat melihat cakrawala yang begitu luas. Sabana tempat kami mendirikan tenda terlihat bak permadani hijau. Di ufuk tampak garis bias yang membelah langit dan bumi. Dari sini kita seolah berdiri di atas awan, tampak tiga lapis warna yang dapat kita lihat sekaligus, hijaunya sabana, putih awan serta biru langit sangat memanjakan mata, rasa-rasanya tak ingin beranjak dari tempat ini.

Tapi tiba-tiba pandangan mataku seolah tertarik medan magnet yang cukup kuat. Di tengah padang sabana yang berada di jurang sisi barat puncak gunung, ada pemandangan cukup menarik. Di tengah-tengah sabana yang hijau terdapat tumbuhan berwarna merah, seperti bunga. Penasaran terhadap tanaman tersebut, aku coba turun ke jurang yang cukup terjal itu, mencoba melihat dari dekat tanaman tersebut dan mengambil beberapa gambar. Hasilnya seperti gambar di bawah ini. Memang terkadang ketika yang lain sama dan kita melihat ada yang berbeda, hati sering kali tergerak untuk penasaran. Ya begitulah, yang terlihat beda selalu dapat menarik hati. Tapi tentu hal ini relatif terhadap setiap orang, karena dua kawan saya dan para pendaki lainnya tampak biasa-biasa saja terhadap hal tersebut. Hanya aku yang tertarik. Agak aneh memang.

Puas berfoto ria, kami pun turun kembali ke area sabana, dari sini saya mencoba untuk berlari dari puncak ke sabana. Dan dalam waktu sepuluh menit saja, saya telah tiba di camp. Turun memang jauh lebih cepat daripada naiknya, hal ini lumrah, apalagi sambil berlari. Setibanya kami di camp, kondisi Ade sudah cukup membaik, minimal sudah bisa bangun sambil sedikit nyengir-nyengir.

Setelah semuanya kembali ke camp, kami bergegas memasak sarapan, menunya cukup spesial, hampir semua logistik rasanya hendak kami “selesaikan” di dua Trangia (-coociking set, Trangia merk perlengkapan outdoor dari Swedia, namun kami lebih sering menyebut cooking set itu dengan merk dagangnya) sekaligus dengan hanya menyisakan beberapa untuk jaga-jaga makan siang nanti kalau saja ditengah jalan perut kami keroncongan. Setelah sarapan, kami segera merapikan alat tidur, mencuci alat masak, melipat kembali tenda lalu mengemasi semuanya ke dalam tas yang kami bawa.

Sedikit tips, sebaiknya ketika hendak mengemasi barang bawaan, ada baiknya mengelompokkannya ke dalam beberapa kelompok, misalnya yang membawa perlengkapan masak, perlengkapan kemah, logistik hingga snack perjalanan. Hal ini penting karena mempemudah kita ketika hendak mencari sesuatu yang kita butuhkan di tengah jalan nanti. Dan ketika itu saya kebagian membawa perlengkapan serta logistik makan siang.

Semua barang bawaan telah terkemasi dengan rapi, termasuk sampah logistik yang kami bawa. Sebelum turun kembali ke posko pendakian kami sempatkan untuk berfoto bersama dan mengambil beberapa gambar di sabana, setelah itu kami langsung turun menuju ke arah posko.

Setelah hampir tiga jam berjalan kaki, tiba tiba Si Ade nyeletuk.

“Nang, lapar”, dengan suara seolah kehabisan tenaga.

“Nanti aja De, nyari tempat yang agak enakan buat masak Mie”, jawabku

Akhirnya kami tiba di sebuah puncakan, yang cukup layak untuk memasak dan makan siang, dan juga telah banyak para pendaki lainnya yang hendak naik, telah lebih dulu tiba. Salah satu keseruan dalam mendaki adalah bertemu dengan orang-orang baru, saling berbagi pengalaman, cerita, berkelakar, tertawa bersama dan tentunya berbagi logistik atau sekadar makanan ringan.

Buru-buru kami memasak tiga buah mie instan ditambah beberapa lauk pelengkap serta minuman hangat. Saat makanan siap, hujan rintik mulai turun perlahan. Alhasil mie instan yang tersaji di hot plate itu kami embat tak tersisa.

Setelah melanjutkan perjalanan total sekitar empat jam dari area sabana, kami telah tiba di area perkebunan warga. Kalau berjalan kaki santai, kurang lebih sekitar lima menit untuk sampai ke posko pendakian. Di area perkebunan itu terdapat pancuran air yang cukup deras dan dapat digunakan untuk mencuci muka atau bahkan mandi guna membersihkan diri dari kotoran dan bau yang kurang sedap.

Setelah kembali bersih dan tampan – menurut kami, kami turun dan melaporkan diri kembali ke posko pendakian sekalian numpang sholat.

Hal yang menarik dalam pendakian kali ini adalah banyak hal yang kami ceritakan, ya tentunya ceritanya berbeda saat ketika kami masih tinggal bersama dan berstatus mahasiswa. Mungkin kalau dimuat dalam tulisan ini, sepuluh halaman rasanya tak cukup untuk menceritakan secara detil hal yang kami ceritakan maupun kami lalui selama perjalanan kali ini. Rasanya hanya sebentar sekali kami berada di sabana Gunung Butak, ya namanya juga hanya menyapa. Tapi sebenarnya, tak penting mengenai tempat. Seperti kata pepatah “It’s not important where we go, but with whom we make a journey”.

 

6 thoughts to “Menyapa Sabana Gunung Butak”

Leave a Reply

Your email address will not be published.