Sewaktu kecil dulu, harga tiket pesawat waktu itu belum semurah sekarang, ketika hendak menyambangi Mbah di Nganjuk, Jawa Timur, Papa mengajak kami sekeluarga menaiki kapal Pelni untuk bersilaturahim dengan sanak famili di pulau Jawa. Periode 80an hingga pertengahan 2000an kapal laut menjadi favorit dan andalan masyarakat untuk berkunjung dari satu pulau ke pulau lainnya di Indonesia.
Ketika sedang berlayar, ada hal yang sedikit menarik perhatianku, mungkin waktu itu usiaku sekitar 10 tahun. Di usia saat itu saya dan kakakku diijinkan untuk berkeliling-keliling di kapal tanpa didampingi oleh orang tua. Walhasil ketika malam hari kami pun keluar dari bagian deck menuju bagian teras kapal. Hal yang menarik perhatian adalah lampu yang bersinar terang entah di mana letak persisnya. Lampu itu berputar-putar seperti jarum jam. Saya pun kagum dan penasaran, siapa gerangan menyorotkan senternya ke arah kapal, apa tujuannya, serta sebesar apa yang ia gunakan. Agak lucu memang, maklum saja itulah isi kepala seorang bocah berusia 10 tahun. Belakangan ketika mengungkapkan kepada Papa, saya pun tahu kalau itu namanya Mercusuar.
Berawal dari sebuah artiket yang dimuat di majalah bulanan National Geographic Traveler tentang sebuah mercusuar yang membantu para pelaut memasuki atau pun meninggalkan selat Madura. Setelah membaca artiket tersebut, rasa penasaran yang telah lama hinggap di hati bocah yang sekarang telah tumbuh dewasa ini sedikit hilang.
Pada beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan mengunjungi langsung mercusuar yang berlokasi di Sembilangan itu. Kebetulan sedang ada urusan sedikit di Surabaya, saya ditemani oleh salah seorang teman dekat saya, berniat menyambangi Desa Sembilangan, lokasi di mana Mercusuar itu berada. Cuma agak sedikit menjengkelkan kawan saya satu ini, bertahun-tahun hidup di Surabaya, tapi tak bisa diandalkan untuk menjadi pemandu wisata di kota Surabaya. Dan akhirnya, in Google we trust. Ya aplikasi Google maps menjadi pedoman penunjuk jalan kami menuju lokasi Mercusuar itu.
Agaknya perjalanan kami kali ini tak berlangsung mulus, ada sedikit bumbu-bumbu perjalanan yg muncul. Harus saya akui, Surabaya itu kota yang cukup tertib, terutama lalu lintasnya, dan gaya mengemudiku rupanya harus sedikit menyesuaikan, dan memang harusnya seperti itu. Akibat sedikit melanggar marka jalan, kami pun harus berurusan dengan Bapak Korps Baju Coklat. Padahal hanya sedikit, tapi walaupun sedikit juga tetap melanggar. Mobil kami pun dikawal menuju pos polis terdekat. Seperti biasa Pak Polisi yang baik itu menyapa,
“Selamat siang Pak, boleh liat surat-suratnya?” pertanyaan ini rasa sudah lama tak terdengar di telingaku.
“Bapak tahu kenapa saya berhentikan?” lanjutnya.
“ Waduh gak tau Pak “, jawabku sambil menyerahkan SIM dan STNK mobil.
Saya pun digelandang ke dalam pos polisi untuk mengurus surat tilang. Setelah diinfokan mengenai pelanggaran saya beserta dendanya saya pun dikenakan denda minimal. Entah lah macam apa itu denda minimal, saya belum sempat bertanya detail. Saya pun diminta menandatangani surat tilang dan setelah itu tanpa diberi surat tilang, saya diperbolehkan melanjutkan perjalanan.
Perjalanan yang kami tempuh dari daerah Ketintang menuju Desa Sembilangan kurang lebih sekitar 2,5 jam sudah termasuk mampir makan dan keperluan lainnya. Ya saya agak sedikit lupa berapa lama persisnya.
Saat akan memasuki Desa Sembilangan terlihat dia yang tinggi menjulang, Sang Mercusuar yang menjadi sahabat para pelaut untuk berlayar sekaligus senter raksasa yang membuatku penasarana di waktu kecil.
Infrastruktur jalan menuju ke lokasi mercusuar cukup baik, dapat dilalui kendaraan sekelas minibus. Setiba di lokasi kami disambut keluarga kawanan sapi milik warga. Ya mungkin mereka keluarga, sebab ada beberapa anak sapi di kawanan mereka. Anak sapi yang lagi lucu-lucunya itu terus mengikuti teman saya hingga hampir ke pintu masuk ke area mercusuar, seperti bertemu orang tuanya, mungkin dia kangen, lama tak jumpa.

Mercusuar setinggi 65 meter ini merupakan peninggalan pemerintahan kolonial Belanda. Secara fisik luarnya, menara ini tampak kokoh berdiri, dan masih berfungsi normal membantu para pelaut. Saat ini operasional mercusuar tersebut dikelola oleh Kementrian Perhubungan. Sayang saat ini kita tak diijinkan masuk dan menaiki menara tersebut.
Hasil obrolan kami dengan penjaga mercusuar yang bertugas, Pak Darsono namanya kalau tak salah, karena ulah sebagian pengunjung yang berbuat vandalisme maupun tindakan mengotori bagian dalam mercusuar, saat ini pengunjung tak dipebolehkan lagi memasuki mercusuar tersebut. Setelah cukup mengobrol kami pun berjalan-jalan memperhatikan area sekitar lokasi mecusuar. Sebenarnya area ini dapat dijadikan lokasi eduwisata, ya berwisata sambil belajar ataupun hanya sebagai tempat menikmati angin Selat Madura yang sepoi-sepoi. Di luar area mecusuar terdapat warung milik warga yang menjajakan makanan ringan maupun minuman yang dapat dijadikan kudapan untuk bersantai-santai.
Merasa cukup, kami pun melanjutkan agenda berikutnya meninggalkan sembilangan dan mercusuar. Ya penasaran saya terobati dengan mengunjungi langsung “senter raksasa” yang dulu pernah saya liat di waktu kecil. Semoga mercusuar ini terus terawat hingga bisa selalu menyambut para pelaut memasuki Selat Madura.
CERITANYA MEMBUAT SAYA MERASA BERADA DILOKASI, DITUNGGU TULISAN SELANJUTNYA
sembilangan terletak di kota manakah ?
Bagus sekali. Oy maksud dari sembilangang apa?