Melihat kalender di meja kerja, tanpa terasa hari-hari mulai memasuki penghujung bulan Februari tahun ini, 2020. Sudah hampir setahun berlalu event yang cukup membekas di memori kepala, ya, tahun lalu saya beruntung mendapatkan kesempatan mengikuti salah satu dari enam World Major Marathon dan satu-satunya di Benua Asia, Tokyo Marathon 2019. Niat hati sudah lama sebenarnya ingin membagikan pengalaman mengikuti event ini, event yang juga menjadi dambaan para pegiat olahraga lari, namun kesibukan serta mood menulis kadang sulit diatur, walhasil tulisan ini baru terbit selang hampir setahun setelahnya. Harap maklum, hehe
Oke, tahun 2019, gelaran Tokyo Marathon, seperti biasa, ada beberapa cara menjadi partisipan dalam event ini, bagi para atlet profesional bisa langsung mendaftar tanpa harus mengikuti undian. Jujur saya minim informasi untuk jalur ini, sedikit tau diri lah, soalnya untuk mengejar mereka-mereka ini mending pesan ojek online saja, jadi saya tak mau repot-repot mencari informasi. Selanjutnya ada jalur pendaftaran via donasi, jadi sambil mengikuti event lari, kita juga bisa sambil beramal dengan membayar biaya pendaftaran tertentu yang nantinya akan disisihkan untuk kegiatan amal. Ada juga jalur pendaftaran via biro perjalanan pariwisata yang telah bekerja sama dengan penyelenggara Tokyo Marathon, tapi harganya sepertinya tak cocok untuk dompet saya, manalagi saat itu saya sedang mempersiapkan pernikahan, ya mending nikah lah daripada ikut marathon. Jalur terakhir yang paling cocok bagi saya adalah via lotre, alias undian. Ceritanya, para calon peserta diwajibkan mengisi seluruh data-data yang dibutuhkan oleh panitia, mulai dari data diri hingga catatan terbaik dalam berlari. Waktu itu kebetulan saya daftarnya pas di hari terakhir pendaftaran, itu pun baru ingat setelah diingatkan oleh seorang perempuan cantik, calon istri saya, waktu itu kami belum menikah, tapi kami seolah hendak merencanakan bulan madu saja. Haha. Nasib baik menghampiri, nama saya muncul sebagai salah satu calon peserta Tokyo Marathon 2019. Iya, masih calon peserta, untuk menjadi peserta harus membayar sekitar 1300 Yen, kalau dirupiahkan sekita 1,6juta. Gak gratis, Sob. Sudah bayar mahal, masih disuruh lari 42km lagi. Salah satu cara bebayar untuk menyiksa diri.
Singkat cerita, perisiapan fisik-yang mungkin seadanya dan administrasi telah dilakukan, berangkatlah saya dan istri ke Jepang tanggal 28 Februari 2019. Hampir sebulan setelah kami menikah di tanggal 2 Februari 2019 , masih hangat, macam betul aja, bulan madu di Jepang segala, pas saat itu di Jepang masih ada sisa-sisa musim dingin. Jadi suasananya sangat mendukung untuk bulan madu. Brrrr… Haha.
Setelah tiba di Jepang pada Jumat tanggal 1 Februari 2019, agenda pertama tentunya menuju tempat pengambilan racepack yang terletak di daerah Odaiba. Semacam taman terbuka, mungkin sering diadakan event di sini. Proses pengambilan racepack sendiri sangat rapi, nyaris tak terlihat antrian panjang mengular. Setiap peserta sudah dibedakan berdasarkan nomo BIB dan diberikan gelang yang terdapat pemancar RFID sebagai identitas dan harus dikenakan sejak pengambilan racepack, hingga selesainya lomba nanti. Arena pengambilan racepack berkonsep seperti race village, sangaaat rapi dan tertib dan saya tak menyangka pengambilan racepack dengan jumlah peserta hampir lebih dari 30 ribu bisa dilakukan secepat ini. Dasar Nippon, bisa saja.
Oiya, dari komunitas kami, Telkom Runner, yang berkesempatan mengikuti Tokyo Marathon 2019 ada tiga orang termasuk saya sendiri, Mas Ano, dan Mbak Mboti. Selain itu ternyata dari Indonesia banyak juga yang ikut, sehingga dibuatlah grup WhatsApp untuk saling bertukar informasi dan menambah teman tentunya. Serunya lagi, pas di Jepang, kami sempat melakukan sesi warming up bersama dan mendapat liputan khusus dari salah satu media pemerhati olahraga lari, RunHood. Keren banget lah.
Bagi saya pribadi yang notabene seorang recreational runner alias pelari hepi-hepi, berlari dengan jarak 42,125km di Jepang dan di Indonesia sama saja. Sama-sama capeknya. Yang membedakan mungkin iklim dan race organizing saja menurut saya. Bagi pelari iklim tropis seperti saya, penyesuaian tubuh terhadap kondisi lingkungan tentunya harus disiapkan sebaik-baiknya. Tapi dasar bandel, saya tak terlalu memperhatikan hal tersebut, bahkan H-1 perlombaan saya dan istri masih menyempatkan plesiran ke sana ke mari, ya maklum lah, mumpung di Jepang, kapan lagi.
Tiba saatnya hari-H, cuaca Tokyo yang dua hari sejak kedatangan kami sebelumnya cerah, ternyata pada saat hari Minggu, 3 Maret 2019, hujan mulai turun di awal pagi. Perlombaan dimulai pukul 09.30 waktu setempat. Dan para peserta diharuskan untuk hadir minimal 1 jam sebelum. Manajemen lomba begitu baik, tanda penunjuk arah terpasang tepat-rapi hampir di setiap sudut-sudut ruang publik baik itu stasiun kereta api maupun terminal bus. Kebetulan dari apartemen, saya berangkat sekitar pukul 7, setelah sarapan pagi, menggunakan commuter line. Begitu turun di Stasiun Tokyo Metro, para peserta langsung disambut oleh para volunteer yang bertugas membantu mengarahkan para peserta sesuai start gate-nya masing-masing. Jadi setiap peserta akan memulai lomba di blok-blok tertentu yang sudah di tentukan sebelumnya. Kebetulan untuk nomor BIB kategori K yang saya dapatkan, harus memulai start dari gate 2. Saya tiba pukul delapan. Masih 90 menit menuju dimulainya lomba. Hujan terus mengguyur tanpa henti, sambil saya melakukan beberapa gerakan pemanasan. Pemanasan telah selesai, waktu start ternyata masih lama. Bisa dibayangkan suhu saat itu sekitar 6 derajat di bawah guyuran hujan, dan saya berdiri sambil melakukan gerakan-gerakan kecil agak tak terlalu kedinginan.
Pistol tanda dimulainya lomba telah dibunyikan, dan para peserta memulai lari. Ternyata garis start masih jauh, mungkin sekitar 400 meter dari tempat saya berdiri di gate 2. Sambil terus begerak pelan, akhirnya garis start yang terletask persis di depan Kantor Walikota Tokyo, dilewati. Badan mulai terasa sedikit hangat setelah kecepatan berlari mulai stabil. Sepanjang lintasan para warga Tokyo seolah ikut merakayan event ini. Mereka berdiri di belakang pagar untuk memberikan semangat ke setiap perserta. Bahkan banyak dari mereka yang secara sukarela membawa makanan dan minuman untuk dibagikan secara gratis kepada para peserta, mulai dari kue mochi bahkan sampai minuman khas Jepang, sake. Mungkin di antara mereka ada yang sahabat, keluarga, suami ataupun istri yang juga menjadi peserta Tokyo Marathon 2019.
Sepanjang lintasan lari, begitu steril, hanya ada peserta dan para official yang berada di lintasan. Padahal rute yang dilewati adalah rute-rute protokol Kota Tokyo bahkan juga melewati beberapa landmark Kota Tokyo, seperti Asakusa Temple dan Tokyo Tower. Bisa dibilang ini adalah penyelenggaraan event lari terbaik yang pernah saya ikut. Water station dan toilet terletak sangat pas sesuai kebutuhan. Saya sangat menikmati lari kali ini, meskipun dalam kondisi cuaca yang kurang mendukung. Beberapa media Tokyo menyebutkan bahwa ini adalah Tokyo Marathon dengan suhu terdingin yang pernah diselenggarakan, ada yang menyebutkan suhu sempat menyentuh di angka 4 derajat Celcius. Suhu yang kurang bersahabat bagi orang Indonesia seperti saya.
Sambil menikmati lari, tentu saja saya tak mau melewatkan untuk foto-foto, baik untuk mendokumentasikan situasi maupun hanya sekadar bernarsis ria di sekitar Tokyo Tower dan Asakusa. Yang penting PB, poto banyak. Ada yang cukup menarik perhatian saya dalam event ini, para polisi yang bertugas menjaga keamanan event maupun para tenaga medis ternyata juga berlari dengan jarak yang sama dengan para peserta, 42.125km, para Polisi lengkap dengan perlengkapan serta para dokter lengkap dengan peralatan medis, yang mungkin sudah didesain compact untuk dibawa berlari marathon. Dasar Nippon, lagi-lagi saya dibuat berdecak kagum.
Jangan tanya performa lari saya. Dengan persiapan seadanya, kaki saya mulai keram di kilometer 25. Kombinasi lari-jalan menjadi solusi. Salah satu motivasi terbesar untuk mencapai garis finish ialah lari kali ini adalah udah ada yang nungguin di garis finish. Kasian juga dia menunggu lama, ditambah lagi pria-pria Jepang tampan-tampan, saya jadi merasa khawatir. Hehe.
Singkat cerita, 42,195 km berhasil saya lalui dengan catatan waktu pribadi, 5 jam 37 menit. Alhamdulillah, masih bisa finish, walaupun kondisi kaki kram tak karuan. Dan yang tentunya membuat haru adalah, Istri tercinta ternyata sudah mulai gelisah menunggu suaminya yang tak kunjung finish. Maklum lah biasanya lari hanya disambut sorakan panitia, kali ini begitu spesial, senang sekali rasanya.
Sampai di garis finish, panitia sudah menyiapkan medali, jas hujan, alluminium blanket, handuk, dan tentunya refreshment. Puas lah ikut race kali ini.
Tahun ini, dari beberapa media online yang saya baca, Tokyo Marathon 2020 ikut terkena dampak dari merebaknya virus Corona sehingga para peserta umum yang bukan atlit profesional terpaka dibatalkan keikutsertaannya demi mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan. Ikut sedih mendengar berita ini. Semoga wabah virus Corona cepat teratasi dan semua kegiatan dapat berlangung seperti sediakala, termasuk event marathon terbaik ini, Tokyo Marathon.
Mantap …lanjutkan